Jakarta-Surat Telegram Kapolri mengatur soal pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan yang dilakukan polisi/dan atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik, oleh Polri akhirnya dibatalkan pada Selasa (6/4/2021) sore.
Telegram itu dibatalkan melalui Surat Telegram Kapolri Nomor ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021. Surat itu ditandatangani Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono atas nama Kapolri.
“Surat Telegram Kapolri sebagaimana referensi nomor empat di atas (surat telegram tentang pelaksanan peliputan bermuatan kekerasan/dan atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik) dinyatakan dicabut/dibatalkan,” demikian bunyi telegram tersebut.
Lewat telegram itu, para kapolda, khususnya kepala bidang humas Polri di seluruh wilayah, agar melaksanakan dan memedomani isi telegram.
Menurut Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Rusdi Hartono, surat telegram tersebut sebetulnya dikeluarkan agar kinerja polisi di seluruh kewilayahan makin baik.
Surat telegram itu ditujukan kepada semua kapolda untuk jadi perhatian kepala bidang humas. Aturan berupa petunjuk arah (jukrah) itu hanya untuk kalangan internal.
“Telegram itu ditujukan kepada kabid humas. Itu petunjuk dan arahan dari Mabes ke wilayah, hanya untuk internal,” ujarnya.
Sebelumnya, surat telegram bernomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 diteken Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 5 April 2021. Telegram itu berisi 11 poin tentang pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan/dan atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik.
Salah satu isinya yaitu melarang media menyiarkan tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Oleh karena itu, media diimbau menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas. Akan tetapi juga humanis.
Berikut isi lengkap surat telegram Kapolri:
- Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis.
- Tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana.
- Tidak menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian.
- Tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan/atau fakta pengadilan.
- Tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan/atau kejahatan seksual.
6. Menyamarkan gambar wajah dan identitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya.
7. Menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban dan keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya yaitu anak di bawah umur.
8. Tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan dan/atau reka ulang bunuh diri serta menyampaikan identitas pelaku.
9. Tidak menayangkan adegan tawuran atau perkelahian secara detail dan berulang-ulang.
10. Dalam upaya penangkapan pelaku kejahatan agar tidak membawa media, tidak boleh disiarkan secara live, dokumentasi dilakukan oleh personel Polri yang berkompeten.
11. Tidak menampilkan gambaran eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak.
Sementara itu, banyak akitivis menolak Surat Telegram Kapolri mengatur soal pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan yang dilakukan polisi/dan atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik.
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar menerangkan, bahwa penerbitan surat telegram Kapolri mengenai larangan media siarkan arogansi dan kekerasan polisi berpotensi membahayakan kebebasan pers.
“Surat Telegram tersebut berbahaya bagi kebebasan pers. karena publik diminta percaya pada narasi tunggal negara,” ujarnya tegas. (Juan)