WBP di Lapas Kelas IIA Parepare yang berlokasi di Jl. Lingkar Tassiso, Galung Maloang, Bacukiki, Parepare, Sulawesi Selatan ternyata mampu menghasilkan produk kriya berupa barang meubel berbahan jati merah dari Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Selain mampu membuat meubel baru, mereka juga mampu mereparasi meubel bekas hingga tampak seperti baru.
“Produk WBP yang kami unggulkan saat ini adalah hasil finishing/reparasi meubel dengan memerhatikan model yang sedang diminati masyarakat,” kata Kasubsi Bimbingan Kerja dan Pengelolaan Hasil Kerja Lapas Kelas II Parepare, Abdul Rahman, ketika dikonfirmasi Zona Integritas, beberapa waktu lalu.
Menurut dia, jumlah WBP yang dilibatkan dalam proses kegiatan ini sebanyak 21 orang yang dibagi dalam 4 tim dengan jumlah tiap tim sebanyak 5 orang ditambah 1 orang lagi bertugas merakit bahan mentahan.
Uniknya, tidak ada proses pelatihan formal yang diberikan pihak lapas. WBP memiliki skill tersebut karena diajari sesama rekannya.
“Kami tidak melakukan pelatihan formal, tetapi kami memanfaatkan 3 WBP yang sebelumnya memang berkompeten di bidang meubel sebelum mereka ditahan untuk mengajari 18 orang warga binaan lainnya, sehingga saat ini total ada 21 WBP dengan skill yang hampir sama,” katanya.
Dipilihnya meubel Jepara, kata Rahman, dikarenakan animo masyarakat sangat tinggi terhadap jenis produk tersebut. Selain itu, berdasarkan analisa di media sosial, meubel Jepara sebelumnya belum pernah diproduksi oleh WBP yang ada di tempat lain di Sulawesi Selatan. Hal ini menjadikan WBP Lapas Kelas II Parepare menjadi yang pertama melakukannya.
Rahman pun menjelaskan detil produksinya. Kayu jati mentahan dibeli dari toko-toko meubel setempat, kemudian digarap pengerjaannya oleh WBP, mulai dari perakitan, pendempulan kasar, pengamplasan awal, pemberian melamine kayu, pewarnaan, pendempulan halus, pengamplasan akhir, dan clearing, sehingga akhirnya menjadi bentuk meubel yang diinginkan pasar.
“Lama pengerjaan setiap tim maksimal 3 hari untuk 1 produk,” katanya.
Terkait harga jual, Rahman menjelaskan hanya memakai rumus perhitungan biaya modal bahan mentahan ditambah biaya pengerjaan dan biaya kirim barang ke konsumen. Dengan demikian sebenarnya harga jual tidak terlalu jauh berbeda dengan harga bahan baku dan ongkos produksinya, mengingat persaingan harga pasar yang begitu ketat.
“Omzet kotor yang kami peroleh saat ini adalah berdasarkan dari penghematan biaya bahan finishing dengan tetap memerhatikan kualitas hasil produk, dan juga dari upah pekerja WBP yang kami bagi 50% untuk WBP dan 50% untuk kelanjutan usaha, dengan total omzet kotor dalam 1 bulan terakhir (Oktober) sebanyak Rp. 21.950.000. Sehingga setelah dikeluarkan biaya-biaya dan upah kerja serta pembayaran PNBP, omzet bersih kami sebanyak Rp.262.300,” tutur Rahman.
Terkait pemasaran, saat ini hanya dilakukan melalui media sosial seperti facebook, whatsapp, grup-grup dagang, instagram, olx, dan shopee. Hal itu disebabkan masa pandemi covid-19 sehingga semua serba online.
“Kami belum pernah mengikuti kegiatan pameran mengingat masih masa pandemi covid-19. Semoga masa pandemi ini segera berakhir untuk kemudian mengikuti pameran di setiap momen,” ujarnya.
Meski begitu, sambung Rahman, penjualan tetap dioptimalkan dengan melakukan promosi media sosial dan menyebarkan brosur kepada masyarakat, serta bekerja sama dengan pihak Bank BRI setempat untuk melayani masyarakat yang ingin membeli meubel dengan cara mencicil.
“Bank BRI setempat membantu memfasilitasi masyarakat yang tidak mampu membeli secara tunai, dapat membeli secara kredit melalui BRI,” terangnya.
Rahman mengatakan pihak lapas tidak menemui tantangan dan kendala dalam proses pengerjaan, tetapi terkendala pembelian bahan baku lantaran keterbatasan modal. Untuk itu, ke depannya akan dibuat perjanjian kerjasama dengan beberapa toko meubel untuk membayar bahan baku setelah barang dalam bentuk meubel laku terjual.
Rahman pun optimis skill pembuatan dan reparasi meubel yang telah terasah di lapas tidak akan berakhir sia-sia, karena beberapa pengusaha meubel sudah menawarkan membayar upah pengerjaan kepada WBP dan kemudian setelah selesai akan dipasarkan sendiri oleh pengusaha itu.
“Jadi, kami yakin skill yang kami asah akan terpakai di masyarakat setelah WBP bebas nantinya, dan membantah pendapat bahwa lapangan kerja saat ini sempit dan perlu modal,” tandasnya. ***