Resensi Buku
Kapita Selekta Pemasyarakatan Edisi II
Penulis: Wahyu Saefudin dan Mirna Fitri berkolaborasi ASN Kementerian Hukum dan HAM
Penerbit: Kalimantan Barat: Ide Publishing, 2021, (298 Halaman)
Oleh: Juan
Buku berjudul: Kapita Selekta Pemasyarakatan Edisi II berisi gagasan Aparatur Sipil Negara (ASN) Kementerian Hukum dan HAM. Buku ini hadir untuk memperingati Hari Bhakti Pemasyarakatan ke-57, pada 27 April 2021.
Menurut keterangan tim penulis buku: Kapita Selekta Pemasyarakatan Edisi II berisi beragam pertanyaan pencapaian yang sudah diraih sistem konsep pemasyarakatan selama setengah abad lebih. Pencapaian 57 tahun konsep pemasyarakatan digagas sebagai paradigma baru pemenjaraan?
“Apakah bangunan Lapas/Rutan yang makin megah hari ini? Ataukah makin maraknya penerapan Lapas industri yang kian gencar meningkatkan produksi? Tentu pencapaian demi pencapaian tersebut, sangat patut untuk diberikan apresiasi,” tertulis sebagaimana dilansir kata pengantar tim penulis.
“Lalu, mari kita lihat lebih dalam, pencapaian apa yang hingga saat ini masih mengusik hati kecil kita? Sebagian mungkin menyorot masalah zero halinar di Lapas/Rutan, sebagian lagi mungkin mengkritisi model pembinaan, ada juga dari kita yang ingin keadilan restoratif untuk mengatasi overcrowding segera diberlakukan,” tertulis lagi sebagaimana dalam kata pengantar tim penulis.
Buku setebal 298 halaman ini ditulis oleh ASN muda Kementerian Hukum dan HAM yang tersebar dari beragam wilayah di Indonesia. Secara garis besar buku ini banyak mengulas restorative justice untuk pelaku pidana.
Buku yang terbagi sebanyak empat bab di antaranya, bab pertama Restorative Justice Untuk Pelaku Pidana Dewasa berisi sebanyak 21 tulisan ASN muda Kementerian Hukum dan HAM, bab kedua Pemenuhan Hak Perempuan Dalam Penjara berisi sebanyak 9 tulisan, bab ketiga Hak Pendidikan Anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak berisi sebanyak 9 tulisan, dan bab keempat Covid dan Pemasyarakatan: Tantangan Pembimbingan/Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di Era Normal Baru berisi sebanyak 18 tulisan.
Keadilan Restoratif
Tengoklah pada halaman 2 tulisan berjudul: Menyambut Presensi Restorative Justice Dengan Konsepsi Penthahelix Governance oleh Andi Eko Sutrisno. Dari sebanyak 21 tulisan pada bab pertama Restorative Justice Untuk Pelaku Pidana Dewasa.
Tulisan ASN Kementerian Hukum dan HAM yang bertugas di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sidoarjo tersebut mencuri perhatian. Andi Eko Sutrisno menuangkan gagasan bahwa pasca reformasi sektor penegakan hukum salah satu diharapkan publik terjadi perubahan di Pemerintahan Indonesia.
“Salah satu institusi yang dituntut berubah ialah institusi pemasyarakatan,” tulisnya dalam gagasan bab pertama Restorative Justice Untuk Pelaku Pidana Dewasa.
Pasalnya, menurut Andi Eko Sutrisno, perubahan menuju politik yang lebih demokratis menuntut adanya institusi pemasyarakatan yang lebih transparan, fleksibel, serta responsif melalui reformasi penyesuaian institusional seiring dengan perubahan lingkungan sosial kemasyarakatan.
Di sisi lain, patut disadari bahwa birokrasi pemasyarakatan hingga saat ini erat dengan sifat yang kaku, merefleksikan dimensi ketertiban, efisiensi, serta keseragaman dalam pelaksanaan fungsinya. Sehingga kebutuhan pelaksanaan sistem pemasyarakatan yang ideal belum dapat tercapai.
Tak ayal, ASN yang bertugas di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sidoarjo. Andi Eko Sutrisno menyampaikan, pelbagai permasalahan dalam sistem penal di Indonesia tentu memerlukan langkah yang dapat menyesuaikan dengan tuntuan perubahan di era demokrasi dengan problematika pelaksaanaan fungsi pemasyarakatan.
“Saat ini terlihat dari keputusan pemerintah untuk mengubah kebijakan pemasyarakatan (UU12/1995) yang selama ini menjadi basis normatif pelaksanaan fungsi pemasyarakatan,” gagasannya tertulis dalam buku.
Dalam buku ini dituangkan juga pandangan, bahwa reformasi birokrasi bukan sebatas konsep. Ia melahirkan konstruk, yang apabila tidak terlaksana maka dapat menciptakan ketidakseimbangan sistem yang berdampak terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang tidak optimal.
Sebab dalam tubuh Pemasyarakatan Indonesia, overcrowded dan gangguan keamanan ketertiban sudah menjadi permasalahan klasik yang kronis dan akut.
Tak heran beragam permasalahan yang kronis dan akut. Masyarakat kadung menganggap institusi pemasyarakatan mendapatkan zero trust society di mata masyarakat.
Maka diperlukan implementasi keadilan restoratif sebagai solusi atas reaksi masyarakat atas permasalahan klasik di Pemasyarakatan Indonesia.
Andi Eko Sutrisno menyampaikan dalam tulisannya, bahwa presensi sistem hukuman di Indonesia masih sebagai aliran klasik dalam studi kriminologi. Artinya, kejahatan dan penjahat hanya dipandang dari sudut yuridis saja.
“Konsekuensi logisnya bermuara pada penjatuhan pidana penjara,” tulisnya.
“Nilai-nilai punitif dan kolonialis masih menggerogoti pondasi supremasi hukum di Indonesia,” Andi Eko Sutrisno menuliskan gagasannya.
Maka, demi mewujudkan sisitem hukum keadilan restoratif. Andi Eko Sutrisno menyampaikan dalam tulisannya diperlukan skema pendekatan pentahelix dan collaborative governance.
Pentahelix didasakan pada lima jenis pemangku kepentingan. Yaitu academic, business, community, government, dan media.
Sedangkan fungsi collaborative governance merupakan sebuah pengaturan pemerintah dimana lembaga publik secara langsung melibatkan pemangku kepentingan non negara dalam proses pengambilan keputusan bersama yang sifatnya deliberatif.
“Dengan demikian, collaborative governance dengan pendekatan pentahelix stakheolder akan memilki jangka berkelanjutan jika diusung dalam menyambut paradigma keadilan restoratif bagi setiap kalangan,” Andi Eko Sutrisno menuliskan gagasannya.
Hak Perempuan Kriminalitas
Buku berjudul: Kapita Selekta Pemasyarakatan Edisi II juga mengulas Warga Binaan Pemasyarakatan menjalankan pidana di Lembaga Pemasyarakatan. Warga Binaan Pemasyarakatan tidak hanya diisi gender laki-laki. Tetapi juga gender perempuan.
Tulisan dari Nurul Akmalah mencuri perhatian. ASN Kementerian Hukum dan HAM yang bertugas sabagai Pembimbing Pemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan Kelas IIA Madiun mengemukakan pandangannya Hak Perempuan dan Kriminalitas: Pemenuhan Hak Dasar Perempuan Di Dalam Lapas.
Isu tentang feminisme menjadi santer terdengar dan menjadi perhatian banyak pihak. Akan tetapi, bagaimana halnya dengan perempuan pelaku kriminalitas?
Tengoklah pada halaman 137, Nurul Akmalah bertanya apakah saat ini juga sudah mendapat perhatian, khususnya dari pemerintah? Atau sebaliknya, terkesan terabaikan karena tidak ketidak populeran isu tersebut?
Bila merujuk data Sistem Data Base Pemasyarakatan Kemenkumham RI, per 16 April 2021, data jumlah narapidana dan tahanan perempuan dewasa di Indonesia sudah menyentuh angka 12.946 orang.
“Jumlah ini meningkat jauh jika dibandingkan dengan lima tahun lalu, dengan tren yang terus meningkat setiap tahunnya. Kenaikan jumlah narapidana perempuan ini tentu saja dilatarbelakangi oleh banyak faktor, mulai dari faktor ekonomi, sosial, perkembangan teknologi, hingga letak geografis,” Nurul Akmalah menuliskan gagasannya.
Dalam gagasan ASN Kemenkumham yang memulai karirnya dimulai 2017 itu, menyampaikan fenomena permasalahan hak narapidana perempuan yang perlu diketahui publik.
Nurul Akmalah menyampaikan gagasan memang diperlukan regulasi khusus dari pemerintah juga. Untuk megatur secara tegas tentang pelaksanaan hak bagi narapidana perempuan.
“Khususnya dalam kondisi hamil, menyusui, dan membesar anak di dalam Lapas/Rutan,” tulisnya lagi.
Hak Pendidikan Anak Berkonflik dengan Hukum di LKPKA
Selain mengulas bagaimana hak narapidana perempuan di Lembaga Pemasyarakatan. Buku berjudul: Kapita Selekta Pemasyarakatan Edisi II mengulas bagaimana hak Anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
Pembimbing Kemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan Kelas II Bukit Tinggi, Sandi Adri menungkapkan tidak semua LPKA menyelenggarakan pendidikan formal. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Nomor 20 tahun 2003) mengamatkan semua anak wajib untuk mengikuti pendidikan.
Tulisan berjudul: Daring Untuk Andikpas mencuri perhatian. Tengoklah pada halaman 174, Sandri Adri mengungkapkan bahwa tidak semua LPKA menyelenggarakan pendidikan formal. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Nomor 20 tahun 2003) mengamatkan semua anak wajib untuk mengikuti pendidikan.
Paradoks tentunya jika sebuah keputusan untuk Anak Didik Pemasyarakatan (Andikpas) mengabaikan kewajiban anak untuk mendapatkan pendidikan.
“Memang, di LPKA disediakan sarana dan prasarana untuk memastikan Andikpas menjalankan kewajiban. Sekaligus mendapatkan haknya akan pendidikan. Namun, kita tidak dapat menutup mata masih banyak juga hal itu tidak terlaksana dengan rupa-rupa alasan teknis,” tulis ASN Kementerian Hukum dan HAM yang sudah bekerja di Kemenkumham pada 2010 ini.
Sebab, menurut Pembimbing Kemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan Kelas II Bukit Tinggi itu, Anak yang harus menjalani pidana karena berkonflik dengan hukum tidak boleh dikeluarkan dari sekolahnya.
Anak akan melanjutkan sekolahnya di LPKA dengan sistem daring yang selama ini digunakan di masa pandemi.
“Jika sekolah tidak memberikan fasilitas tersebut, dinas teknis perlu mempertimbangkan untuk memberikan fasilitas bagi Andikpas agara wajib untuk bersekolah,” Sandri Adri menuliskan gagasannya.
Kinerja Pembimbing Kemasyarakatan Kondisi Pandemi Covid-19
Pembimbing Kemasyarakatan, Dewi Zuhroyda yang bertugas di Balai Pemasyarakatan Kelas II Balikpapan membagikan pengalaman tugas dan fungsi sebagai Pembimbing Kemasyarakatan tetap berjalan di tengah kondisi Covid-19.
ASN Balai Pemasyarakatan Kelas II Balikpapan ini mencuri perhatian. Tengoklah pada halaman 247, kebijakan Work From Home sebagai sarana social distancing dan physical distancing. Tak pelak, tugas bertemu klien pemasyarakatan berganti dengan cara pertemuan virtual. Salah satunya menggunakan sarana aplikasi whats app.
Dewi Zuhroyda menyampaikan, tugas pembimbing kemasyarakatan antara lain penelitian kemasyarakatan, pengawasan, dan pembimbingan bagi klien pemasyarakatan.
“Bisa dibilang, tugas ini memerlukan hubungan yang indepth, karena harus memastikan klien tersebut dalam keadaan baik untuk menjalankan fungsinya, agar tidak mengulangi tindak pidananya kembali,” tulis ASN Kementerian Hukum dan HAM yang lahir pada 9 Mei 1988 ini.
Dewi Zuhroyda berkomunikasi dengan klien pemasyarakatan menggunakan whats app ibarat hiperealitas? Sebagaimana tulisannya berjudul: Klien Pemasyarakatan dan WhatsApp, Hiperealitas?
Dalam dunia hiperealitas, tidak ada cara mendapatkan sesuatu dari sumbernya dan tidak ada cara mendapatkan realitas yang asli. Sebagai pembimbing pemasyarakatan tentu akan membuktikan simulasi yang telah dilakukan klien pemasyarakatan.
“Pembimbing pemasyarakatan akan menghubungi penjamin secara virtual dan meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah disimulasikan klien,” tulisnya lagi pada halaman 250.
Masih banyak hal menarik tulisan ASN muda Kementerian Hukum dan HAM dalam buku berjudul: Kapita Selekta Pemasyarakatan Edisi II ini.
Buku ini juga dapat dibaca gratis di-link berikut: https://play.google.com/store/books/details/Wahyu_Saefudin_Kapita_Selekta_Pemasyarakatan_Edisi?id=71UrEAAAQBAJ).
Publik perlu membaca apa saja tantangan pemasyarakatan di tengah kondisi overcrowded dan pandemi Covid-19.