Jakarta-Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) ambil bagian dalam kampanye menangkal hoaks dan ujaran kebencian dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) bertajuk Social Media 4 Peace.
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengungkapkan Bawaslu menyambut baik itikat UNESCO. Menurutnya selama ini Bawaslu kerap menghadapi permasalahan hoaks dan ujaran kebencian di media sosial selama Pemilu.
“Kami memiliki banyak pengalaman dalam menghadapi hoaks di media sosial. Yang pertama adalah saat 2017 ketika pemilihan gubernur untuk DKI Jakarta yang mana pada saat itu hoaks menyebar begitu masif. Kemudian tahun 2019, penyebaran hoaks di 2019 kami juga dihadapkan pada serangan hoaks yang menyebabkan Bawaslu juga menjadi sasaran masyarakat yang tidak puas dengan hasil Pemilu,” ungkap Bagja di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Rabu (21/6/2023).
Bagja berharap, dengan terjalinnya kerjasama bersama UNESCO, kedepan penanganan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di media sosial dapat ditangani dengan lebih baik terutama dalam menghadapi Pemilu 2024.
Adapun Kepala Unit Komunikasi dan Informasi, Kantor Wilayah Multisektoral UNESCO, Ana Lomtadze mengungkapkan saat ini hingga akhir siklus pemilu, ujaran kebencian, disinformasi, dan konten menghasut yang tersebar secara online berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap pemilu dan memfasilitasi kekerasan di dunia nyata.
“Social Media 4 Peace memiliki dua tujuan yang pertama adalah mempromosikan narasi kedamaian di media sosial, dan untuk tujuan ini kami berkerja bersama dengan anak muda, pemimpin keagamaan, untuk mempromosikan narasi damai di media sosial saat Pemilu. Kedua yaitu, mengembangkan inovasi untuk menangkal ujaran kebencian dan hoaks,” ungkapnya.
Ana melanjutkan, bersama dengan UGM dan beberapa NGO, UNESCO melakukan penelitian yang menjadi permasalahan media sosial di Indonesia. Permasalahan yang timbul kebanyakan berada pada sisi platform media sosial yang mana mereka kurang transparan dalam bagaimana memoderasi konten, bagaimana menggunakan algoritma, dan berapa orang moderator yang mereka punya dalam menyaring konten.
“Ini menjadi jelas bahwa mereka—platform media sosial—tidak berinvestasi pada konten moderasi dalam bahasa lain selain bahasa Inggris. Sehingga mereka tidak memoderasi konten secara efektif. Apa yang kami pahami adalah platform tidak memiliki ahli dalam konteks skala lebih kecil—secara nasional—untuk memoderasi konten yang disebar,” jelasnya.
Ke depannya, UNESCO bersama Bawaslu dan Koalisi Damai berencana untuk melakukan deklarasi Social Media 4 Peace dalam waktu dekat. (Ina)