Para globalist menyakini bahwa globalisasi merupakan suatu keniscayaan dari gerak zaman; suatu fase yang terjadi secara alamiah sebagai bagian dari keharusan rantai sejarah (necessity law). Dari sekian terminologi terkait globalisasi; salah satunya digambarkan secara mengesankan oleh Keinichi Ohmae (“The Borderless World” terbit Tahun 1990) dalam bentuk jaring dunia yang melampaui tapal batas negara kemudian membentuk komunitas perkampungan dunia. Melalui fenomena globalisasi tersebut; masyarakat dunia terhubung, berkomunikasi, dan berinteraksi melampaui sekat-sekat batas antar negara. Dapat dikatakan bahwa praktek politik isolasi sudah tidak lagi relevan dimana pergaulan antar bangsa berlangsung semakin intens sedemikian rupa.
Secara akademis, fenomenologi globalisasi selalu erat bersingungan dengan digitalisasi dan inovasi teknologi yang secara linear mempengaruhi perekonomian global. Melihat jauh ke belakang; penemuan “jalur sutra” yang menghubungkan dunia timur dan dunia barat serta revolusi industri yang berlangsung di Eropa Barat (tepatnya Inggris) menjadi tonggak sejarah yang mendorong setiap negara bangsa (nation state) di dunia untuk membuka diri terhadap perubahan serta berdinamika di dalam perubahan tersebut agar mampu mengoptimalkan kepentingan nasional (national interest) masing-masing. Memang fakta yang terjadi tidak semua negara-negara di dunia menikmati kesejahteraan dari sebuah proses perubahan global; bahkan banyak di antaranya yang terjebak di dalam ketergantungan, terbelakang, dan terpinggirkan.
Negara-negara yang gagal mengelola potensi nasional untuk dapat bersaing secara global menghadapi kenyataan bahwa instabilitas dalam negeri mendorong terjadi fenomema migrasi orang keluar dari satu negara ke negara lain. Fenomena migrasi ini lazim terjadi mengingat setiap orang dalam kehidupan senantiasa berupaya mewujudkan kebahagiaan diri (oleh Thomas Jefferson – mantan Presiden Ke-3 USA menguraikan sebagai “life, liberty and persuit of happiness”). Maka tidak heran jika merujuk beberapa dekade lalu sekitar tahun 1960-an; banyak sekali warga negara Republik Rakyat Tingkok yang melakukan migrasi untuk menemukan dataran baru dalam upaya mereka melangsungkan kehidupan yang layak. Migrasi semacam ini masih jamak terjadi di beberapa negara-negara periferi dalam tatanan dunia baru hingga kini.
Kembali ke Republik Rakyat Tingkok, tentu saja saat ini telah jauh bertransformasi bahkan mampu menjadi kekuatan adidaya baru baik secara ekonomi, politik, dan militer di dunia modern kekinian. Dari sini sekilas dapat dipahami bahwa migrasi orang selalu berkaitan erat dengan alasan kesejahteraan (ekonomi) sebagai faktor pendorong yang utama. Di satu sisi tidak semua negara menginginkan menghadapi kondisi human capital loss sebab bonus demografi dapat mendatangkan keuntungan tersendiri bagi pembangunan nasional. Itulah mengapa peran penting institusi Imigrasi yang handal dalam menfasilitasi dan mengamankan kegiatan perlintasan orang antar negara diperlukan untuk memaksimalkan potensi-potensi yang menunjang upaya mewujudkan kepentingan pembangunan nasional secara dinamis dan menyeluruh.
ANTARA KESEMPATAN ATAU ANCAMAN
Fakta bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago state) yang diapit oleh 2 (dua) benua (Asia dan Australia) dan 2 (dua) samudera (Hindia dan Pasifik) dengan lalu lintas internasional (baik pelayaran maupun penerbangan) yang sangat padat. Dari sini, Penggambaran kondisi tersebut bukan sekedar bersifat geografis semata; akan tetapi bagaimana Indonesia dapat memperbesar peluang sekaligus melokalisir ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan melalui pendekatan geostrategis dan geopolitik yang mampu melihat secara dinamis ke dalam (inward looking) maupun keluar (outward looking). Hal ini bersifat mendesak mengingat Indonesia harus dapat memperbesar keuntungan dari potensi komparatif yang dimiliki agar sumber daya alam, sumber daya manusia, dan potensi komparatif lain yang dimiliki Indonesia tidak diperalat oleh kepentingan asing.
Kebijakan untuk memperkuat fungsi keimigrasian tentu bukan sekedar proteksi terhadap kewilayahan semata yang bersifat absolute dan determinan; mengingat derasnya muatan kepentingan yang bersifat laten keluar masuk dari wilayah Indonesia. Armando Navarro dalam “The Immigration Crisis” yang terbit pada tahun 2009 dengan mengkaji fenomena keimigrasian antara USA dan Mexico, menerangkan bahwa kepentingan gerak orang dalam keimigrasian sangat identik dengan kesepakatan politik dan aliran investasi sehingga negara-negara di dunia kemudian menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan untuk memaksimalkan keuntungan yang diperoleh dari suatu proses produksi. Jika keimigrasian tidak dikelola dengan baik maka dapat saja menyebabkan krisis keimigrasian dalam 2 (dua) tingkatan : pertama pada level makro sebagai hasil dari krisis ekonomi dan kedua pada level mikro dimana kondisi keimigrasian dapat diperburuk dengan perubahan demografi yang merugikan.
Oleh sebab itu, penguatan perundang-undangan di bidang keimigrasian tidak dapat diartikulasikan sebagai “take it for granted” karena isu-isu keimigrasian berkorelasi secara dinamis dengan perkembangan situasi global. Sehingga, memperkuat secara terus-menerus fungsi keimigrasian menjadi skala prioritas utama dalam rangka menfasilitasi pembangunan nasional sekaligus menegakan kedaulatan negara. Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian menggantikan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian, tatanan yuridiksi keimigrasian berusaha menyesuaikan untuk menghadapi dinamika tatangan global di era modern saat ini. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian merampungkan beragam aturan yang masih belum menjadi fokus bagi peraturan perundang-undangan sebelumnya. Beberapa poin yang menjadi pembeda utama antara lain dalam penangkalan Warga Negara Indonesia (WNI) yang kini dihilangkan, pengawasan keimigrasian dalam rangka penegakan hukum yang berlaku untuk semua orang (WNI/Orang Asing), penanganan human trafficking dan kejahatan transnasional, serta penekanan kebijakan selektif (selective policy) yang mengedepankan fasilitasi iklim investasi dan kedaulatan negara. Tentu saja hal ini akan terus berkembang seiring perubahan-perubahan dinamika situasi global yang tidak mungkin untuk diprediksi secara pasti.
PELAYANAN KEIMIGRASIAN PRIMA
Di hampir seluruh negara di dunia; persoalan pelayanan publik menjadi persoalan yang serius dan mendapat perhatian khusus. Agenda-agenda kebijakan untuk mempermudah dan meringkas pelayanan publik melalui e-government (birokrasi digital) terus berkembang semakin kekinian sehingga pelayanan publik dapat diselenggarakan secara efektif dan efesien. Demikian juga dengan Indonesia; agenda reformasi birokrasi yang kini sedang bergulir pada akhirnya mengharuskan agar penyelengaraan pemerintahan dapat adaptif terhadap tuntutan publik. Dengan kata lain, penyelenggaraan birokrasi sebagai tulang punggung perekonomian nasional dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan prima melalui kepastian hukum dan kepastian perizinan.
Dalam bidang keimigrasian; pelayanan keimigrasian harus mampu responsif terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat secara luas sekaligus mampu mengedepankan pendekatan keamanan (security approach) secara berimbang dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach). Dalam peran serta menjamin iklim investasi yang berkelanjutan, fungsi keimigrasian diselenggarakan untuk memberikan kemudahan-kemudahan perizinan dalam batasan tertentu sesuai dengan kebijakan selektif (selective policy) yang dijalankan. Dari sudut pandang instrumetalisme, menjamin iklim investasi berjalan kondusif akan merangsang efek rembesan ke bawah (trickle down effect) dan menstimulus percepatan laju perekonomian nasional sehingga sektor-sektor ekonomi makro maupun mikro dapat terstimulus beriringan untuk menjadi motor penggerak bagi pembangunan nasional.
Berkenaan dengan itu, modifikasi terhadap peraturan keimigrasian sangat diperlukan dalam batasan tersebut; sebab iklim investasi yang kondusif selalu berkaitan sangat erat dengan kepastian hukum, salah satunya dalam perizinan keimigrasian. Di sini, investasi yang datang dari luar harus disikapi sebagai instrumen penunjang untuk merangsang gerak roda pembangunan nasional agar semakin mapan menopang stabilitas dalam negeri untuk mengahadapi situasi global yang tidak dapat diprediksi secara pasti. Namun, Fungsi keimigrasian sebagai fasilitator pembangunan nasional tersebut tidak dapat dipersempit secara monoton untuk sekedar percepatan pertumbuhan ekonomi melalui pelayanan keimigrasian semata. Pembangunan nasional memiliki makna yang lebih dalam. Sesuai amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; orientasi pembangunan nasional baik secara fisik dan non-fisik bertujuan demi melindungi segenap tumpah darah Indonesia serta menciptakan kesejahteraan umum secara merata.
Pada akhirnya akumulasi dari fungsi keimigrasian dalam rangka menfasilitasi pembangunan nasional terletak pada dua aspek yang tidak dapat dinegasikan satu dengan lainnya; yakni aspek pelayanan dan aspek pengawasan (penegakan hukum) demi tegaknya kedaulatan negara. Dalam pelayanan keimigrasian terdapat sense of security yang dikenal di dalam pengawasan; dan sebaliknya di dalam kegiatan pengawasan harus mengedepankan sense of excellent yang diterapkan di dalam pelayanan. Melalui kedua hal tersebut, keimigrasian Indonesia telah berupaya untuk merepresentasikan wajah Indonesia yang berkarakter, ramah, dan tegas kepada dunia internasional agar timbul kepercayaan bahwa Indonesia merupakan negara yang mampu bersaing secara global.