Jakarta-Kebijakan asimilasi dan integrasi di Indonesia disebut-sebut oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Laoly sukses menekan penyebaran Covid-19 di Lapas maupun Rutan di Indonesia, pada forum United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) atau Kantor PBB urusan Narkoba dan Kejahatan secara virtual, Rabu (10/3/2021)
Menkumham menjelaskan, bahwa Peraturan Menteri (Permenkumham-red) kebijakan asimilasi dan integrasi diterima bagi narapidana atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang sudah menjalani setengah dari masa hukuman, dan 1/3 untuk anak-anak.
Pada Februari 2021, berdasarkan kebijakan ini, 61.633 narapidana telah dibebaskan dan dikembalikan ke keluarga mereka.
“Narapidana atau WBP yang dibebaskan masih harus melapor ke Kantor Pembebasan Bersyarat sampai masa hukuman mereka berakhir,” ungkap Yasonna Laoly.
“Peraturan Menteri tersebut telah direview dan dianggap efektif dalam mencapai target untuk mengurangi penyebaran pandemi Covid-19, meskipun ditemukan kurang dari 1% narapidana yang menyalahgunakan kebijakan tersebut dan kembali melakukan tindak kriminal setelah pembebasan. Kebijakan tersebut telah diperpanjang dengan Peraturan Menteri yang baru (No. 32/2020) hingga 30 Juni 2021,” tambahnya lagi.
Menkumham menjelaskan, bahwa berdasarkan Peraturan Menteri yang baru itu juga menyederhanakan mekanisme pengeluaran dan memperluas penerapannya kepada warga negara asing yang memenuhi persyaratan.
“Di sisi lain, untuk menghindari terulangnya kejahatan yang sama oleh pelanggar yang dibebaskan selama masa asimilasi dan integrasi. Kebijakan ini tidak berlaku untuk pelanggaran tertentu seperti pembunuhan berencana, pemerkosaan, perampokan dengan kekerasan, dan pelecehan seksual terhadap anak,” jelasnya.
“Secara umum, penerapan Pedoman dan protokol kesehatan pencegahan dan penanganan Covid-19 di Lapas maupun Rutan di Indonesia efektif mencegah penyebaran dan penularan bagi narapidana atau WBP,” tambahnya.
Pada forum UNODC itu, Menkumham Yasonna Laoly menyebut juga beberapa tantangan yang harus ditangani dalam pencegahan dan penanganan Covid-19 di Lapas maupun Rutan di Indonesia.
Semisal, pertama kelebihan kapasitas Lapas, Rutan, dan Lapas Anak, kedua kurangnya sumber daya manusia di Lapas, ketiga kekurangan anggaran, sarana, dan prasarana pendukung, kemudian keempat dukungan terbatas dari Dinas Kesehatan dan Satgas setempat.
“Kami telah meningkatkan sarana dan prasarana untuk menjawab tantangan tersebut, termasuk membangun Lapas baru serta merelokasi dan merenovasi. Sehingga kami dapat menambah dan menggandakan kapasitasnya,” ucap Menkumham Yasonna Laoly
“Pandemi ini juga mendorong kami untuk mengkaji lebih jauh sistem yang berlaku di Indonesia, terutama tentang bagaimana menggunakan alternatif hukuman penjara untuk menghindari kelebihan kapasitas di Lapas kami,” tambahnya lagi.
Pasalnya, lebih dari separuh narapidana di Indonesia adalah pelaku kasus narkoba. Beberapa dari mereka mungkin membutuhkan program rehabilitasi daripada hukuman penjara.
“Telah ada diskusi intensif untuk merevisi UU Narkoba sebagai salah satu solusi untuk mengurangi kelebihan kapasitas di Lapas. Upaya ini menjadi prioritas legislasi nasional dan mudah-mudahan Kita bisa menyelesaikan prosesnya pada akhir tahun ini,” ungkap Menteri Yasonna.
Pada forum UNODC itu, Menkumham mengucapkan terima kasih atas dukungan UNODC dan kantor International Committee of the Red Cross (ICRC) di Indonesia.
“Atas bantuannya dalam penyediaan alat pelindung diri dan hygiene kit untuk sejumlah Lapas dan Rumah Sakit di Indonesia. Kami berharap dukungan dan bantuan terus menerus dari berbagai pihak,” ucapnya.
“Tidak ada keraguan bahwa kerja sama internasional diperlukan untuk mengurangi risiko dan membangun pencegahan pandemi Covid-19 yang lebih baik,” tambahnya lagi. (Yaman)