Free Porn
xbporn
Kamis, 13 Maret 2025
spot_img
spot_img
BerandaBeritaDirjen HAM: di KUHP Baru, Kohabitasi Juga Miliki Konsekuensi Hukum

Dirjen HAM: di KUHP Baru, Kohabitasi Juga Miliki Konsekuensi Hukum

Jakarta-Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM), Dhahana Putra, mengangkat isu tentang meningkatnya kasus perselingkuhan yang ramai dibicarakan di media sosial. Menurutnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru memberikan pengaturan yang lebih jelas mengenai kohabitasi dan perzinaan.

“Bagi pasangan yang belum menikah, perlu memahami bahwa di KUHP baru ini kohabitasi juga memiliki konsekuensi hukum,” jelas Dhahana.

Dhahana menjelaskan bahwa kohabitasi, dalam KUHP yang baru, didefinisikan sebagai hidup bersama sebagai suami istri di luar pernikahan. Ini mencakup pasangan yang tinggal bersama dan berperilaku seperti suami istri tanpa ikatan pernikahan yang sah menurut hukum.

Sementara itu, perzinaan dalam KUHP baru tetap dianggap sebagai tindak pidana, sama seperti dalam KUHP lama. Menurut Pasal 411 KUHP baru, setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya akan dikenai pidana perzinaan. “Pasal ini menegaskan komitmen pemerintah untuk menegakkan norma kesusilaan dalam masyarakat,” kata Dhahana.

Namun, Dhahana menjelaskan bahwa baik kohabitasi maupun perzinaan merupakan delik aduan terbatas. Ini berarti tindakan kohabitasi dan perzinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 411 dan Pasal 412 hanya dapat diproses secara hukum jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.

“Pengaduan harus berasal dari suami, istri, orang tua, atau anak dari pihak yang terlibat dalam perbuatan tersebut. Tanpa adanya pengaduan resmi dari pihak-pihak terkait, tindakan tidak dapat diproses oleh aparat penegak hukum,” tambah Dhahana.

Dhahana juga menyebutkan bahwa sejak awal pembahasan KUHP baru, topik terkait kohabitasi dan perzinaan telah memicu polemik di ruang publik. “Ada pihak yang menginginkan agar tindakan semacam itu dihukum karena tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial dan keagamaan. Di sisi lain, ada yang menolak negara untuk mengatur hal tersebut karena dianggap mencampuri urusan pribadi. KUHP berupaya mencari titik keseimbangan,” ujarnya.

Pengaturan ini penting dalam konteks hak asasi manusia (HAM), karena negara harus menjaga keseimbangan antara menghormati hak-hak individu dan menegakkan norma-norma sosial yang dianut masyarakat. Setiap regulasi harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kebebasan pribadi sambil memastikan tidak melanggar hak-hak dasar warga negara, seperti yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Di antaranya, hak untuk membangun sebuah keluarga tanpa tekanan, serta hak untuk memiliki keturunan melalui perkawinan yang sah.

Meskipun masih ada diskursus mengenai topik ini dalam KUHP, Dhahana meyakini tim penyusun KUHP telah mempertimbangkan berbagai perspektif dan keilmuan secara matang. “Pengaturan kohabitasi dan perzinaan dalam KUHP ini diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara hak individu dan norma sosial yang masih dipegang oleh masyarakat di tanah air,” jelasnya.

“Kembali, kami mengimbau masyarakat untuk memahami aturan ini dengan baik sehingga dapat menghindari konsekuensi hukum sebagaimana diatur dalam KUHP baru ini,” tutup Dhahana. (Sal)

spot_img
- Advertisment -spot_img

TERPOPULER

KOMENTAR TERBARU