Jakarta-Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menjelaskan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai uji formil Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020), pada Kamis (25/11/2021).
“Bahwa “Proses Pembentukan” RUU Cipta Kerja inkonstitusional. Tetapi UU ini tetap berlaku sampai dengan UU diubah 2 tahun sejak putusan pada 25 November 2023,” jelasnya.
Bivitri Susanti meneruskan, apabila sampai dengan 25 November 2023. UU yang baru tidak juga dibuat, maka UU Cipta Kerja yang sekarang menjadi tidak berlaku lagi. Dan semua yang sudah diubah oleh UU Cipta Kerja menjadi berlaku lagi
“Meminta pemerintah menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana “baru” yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja,” jelasnya lagi.
Lalu bagaimana PP yang sudah ada tetap berlaku? Menurut Bivitri, PP yang sudah ada tetap berlaku. Namun yang inkonstitusional adalah proses pembentukan.
“Ya, karena yang dianggap inkonstitusional adalah proses pembentukan. Tetapi UU dan segala peraturan yang sudah ada tetap berlaku. Hanya tidak boleh membuat peraturan pelaksana baru dan kebijakan lainnya yang bersifat strategis,” jelasnya mengutip dari akun facebook miliknya.
Dalam catatannya putusan ini tidak bulat. Sebab putusan MK mengenai ujii formil UU Cipta Kerja ada 4 hakim yang berpendapat berbeda. Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan M.P. Sitompul, dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Bivitri Susanti mengapresiasi putusan ini, sebab MK mengonfirmasi buruknya proses perumusan UU Cipta Kerja. Bila tidak ada putusan ini, menurutnya, maka praktik buruk ini bisa mendapat legitimasi sehingga mungkin akan terus berulang.
Putusan Jalan Tengah
Namun demikian, bila melihat amar putusan dan adanya 4 dari 9 hakim yang berpendapat berbeda. Putusan ini memang seperti “jalan tengah.” Tak ayal, jalan tengah ini sesungguhnya menimbulkan kebingungan.
“Karena putusan ini mengatakan bahwa sebuah proses legislasi inkonstitusional. Artinya sebenarnya sebuah produk yang dihasilkan dari proses yang inkonstitusional ini juga inkonstitusional. Sehingga tidak berlaku. Tetapi putusan ini membedakan antara proses dan hasil. Sehingga yang inkonstitusional hanya prosesnya. Tetapi UU nya tetap konstitusional dan berlaku,” jelasnya.
“Untuk uji formil, adanya putusan yang mengabulkan permohonan adalah yang pertama dalam sejarah. Tidak mungkin MK bisa menolak lagi permohonan uji formil ini, karena memang segala cacat formil yang didalilkan para pemohon cukup sederhana untuk dibuktikan di persidangan. Karena bahkan cukup kasat mata bagi publik. Seperti tidak adanya naskah akhir sebelum persetujuan,” tambahnya.
Pertimbangan Politik MK
Namun di sisi lainnya, bila melihat rekam jejak MK, menurut pakar hukum tata negara itu, bisa melihat bagaimana MK selalu melakukan pertimbangan politik tidak hanya soal hukum.
Alhasil jalan keluarnya adalah “conditionally unconstitutional” atau putusan inkonstitusional bersyarat selama 2 tahun.
“Meski dikabulkan, sebenarnya ini bukan sebuah “kemenangan” bagi pemohon. Karena UU Cipta Kerja tetap berlaku sampai 2 tahun lagi. Yang masih bisa sedikit melegakan adalah karena tidak boleh lagi ada peraturan pelaksana (PP dan Perpres yang diperintahkan secara eksplisit untuk dibuat) dalam 2 tahun ini. Tetapi ini pun berarti peraturan pelaksana yang sudah ada dan penuh kritik, tetap berlaku,” jelasnya. (Juan)