Oleh : Ir. H. Abdullah Rasyid, ME.
Kebijakan imigrasi Indonesia saat ini, telah dibangun di atas dua fondasi yang kokoh; kedaulatan nasional dan pengendalian arus masuk warga negara asing (WNA) sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, yaitu bertujuan; untuk melindungi integritas wilayah dan mencegah potensi ancaman keamanan dari arus migrasi yang tidak terkendali.
Sebelum Kebijakan Kewarganegaraan Global Indonesia (KGI) diperkenalkan kepada publik, sistem imigrasi di Indonesia sangat bergantung pada instrumen seperti; Visa Tinggal Terbatas (ITAS), Izin Tinggal Tetap (ITAP), dan Izin Re-Entry Terbatas. Seluruh instrumen kebijakan ini masih bersifat “temporer” dan membutuhkan proses perpanjangan berkala.
Pendekatan ini kemudian menjadi sangat “kaku” ketika menghadapi tantangan dan dinamika global seperti laju mobilitas internasional yang semakin tinggi. Tanpa opsi residensi permanen yang lebih fleksibel, Indonesia memiliki kecenderungan kehilangan talenta asing berpotensi tinggi, seperti; investor, profesional, dan diaspora yang terhambat oleh birokrasi rumit. Selain itu, isu kewarganegaraan ganda—yang dilarang secara tegas sesuai Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan—menjadi penghalang utama bagi “keturunan” warga Indonesia yang lahir di luar negeri. Hal ini kemudian membatasi kontribusi mereka terhadap pembangunan nasional sekaligus menggambarkan “potret” kebijakan imigrasi kita sebagai model benteng yang cukup defensif, meskipun efektif menjaga stabilitas tetapi kurang adaptif terhadap kebutuhan era globalisasi.
Di tengah konteks tersebut, KGI kemudian hadir sebagai kebijakan inovatif yang tidak hanya penting, tetapi juga strategis bagi Indonesia. kebijakan ini memiliki kemampuan untuk merespons tuntutan global tanpa mengorbankan prinsip kedaulatan.
Dari perspektif keamanan negara, KGI menerapkan pendekatan imigrasi selektif yang ketat, di mana “pemohon” akan dievaluasi berdasarkan akar ikatan kekeluargaan yang kuat dengan Indonesia—seperti keturunan, ikatan keluarga, atau sejarah kontribusi—sambil mengecualikan individu dari negara bekas wilayah Indonesia, pelaku separatisme, atau mantan pegawai intelijen dan militer asing guna memperkuat kontrol keamanan negara melalui penyeleksian masuknya elemen berisiko untuk mencegah potensi destabilisasi sosial-politik. Secara ekonomi, manfaat KGI tak kalah signifikan; kebijakan ini diharapkan mendorong peningkatan investasi asing langsung (FDI) melalui kemudahan layanan, seperti proses aplikasi online terintegrasi yang menggantikan visa terbatas, ITAS, dan ITAP. Dengan menarik talenta global yang memiliki afiliasi yang kuat, Indonesia dapat memperkaya sumber daya manusia di sektor teknologi, pariwisata, dan perdagangan, yang pada akhirnya dapat berkontribusi langsung pada pertumbuhan PDB serta memposisikan Indonesia sebagai pusat destinasi yang kompetitif di Asia Tenggara.
Terobosan KGI terletak pada desainnya yang inovatif sebagai alternatif kewarganegaraan ganda, sehingga memungkinkan WNA untuk tinggal tanpa batas waktu tanpa harus mengubah status kewarganegaraan asal atau melanggar aturan negara lain. Kebijakan ini secara resmi telah diluncurkan oleh Bapak Agus Andrianto selaku Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan: “KGI adalah solusi untuk menjawab kebijakan kewarganegaraan ganda dengan hak tinggal luas bagi WNA yang memiliki ikatan kuat dengan Indonesia, tanpa mengubah status kewarganegaraan dan tanpa melanggar aturan negara lain.”
Berbeda dengan kewarganegaraan ganda yang berpotensi menimbulkan konflik loyalitas, KGI menjaga integritas hukum Indonesia sambil membuka pintu bagi diaspora. Sebagai studi perbandingan, keberhasilan Overseas Citizenship of India (OCI) menjadi pembelajaran yang sangat berharga bagi Indonesia. OCI yang diperkenalkan sejak 2005 telah memberikan hak residensi seumur hidup bagi keturunan India tanpa kewarganegaraan penuh, dan telah menarik lebih dari 4 juta pendaftar hingga tahun 2023 serta berkontribusi langsung pada remitansi tahunan yang mencapai US$100 miliar di India. Sementara di Negara Portugal, program Golden Visa yang telah dirilis sejak 2012 telah berhasil mengumpulkan investasi lebih dari €7 miliar serta mendorong pertumbuhan sektor properti dan pariwisata. Kisah sukses ini merupakan bukti nyata, bahwa model serupa dapat merevitalisasi ekonomi tanpa mengancam identitas nasional, dan KGI berpotensi mereplikasi dampak positif tersebut di Indonesia.
Untuk memastikan implementasi yang berkelanjutan, KGI menetapkan syarat dan kewajiban yang jelas guna menjaga keseimbangan antara inklusivitas dan akuntabilitas. Syarat utamanya mencakup; status sebagai mantan warga negara Indonesia, keturunan hingga derajat kedua (cucu dari WNI/mantan WNI), pasangan warga negara Indonesia, atau pihak dalam perkawinan campur antara warga Indonesia dan WNA. Proses pendaftaran dapat dilakukan secara online melalui evisa.imigrasi.go.id, dengan proses “all-in-one” yang mencakup penggantian visa terbatas, ITAS, ITAP dan izin re-entry tak terbatas. Kebijakan ini selaras dengan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang memberikan kewewenangan kepada Menteri untuk dapat menetapkan alih status izin tinggal melalui Keputusan Menteri. Selain itu, kebijakan ini juga didukung oleh Peraturan Presiden Nomor 157 Tahun 2024 tentang Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan untuk dapat memfasilitasi penetapan kebijakan imigrasi yang inovatif, serta Peraturan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Nomor 1 Tahun 2024 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian dengan mengintegrasikan layanan digital yang berbasis efisiensi.
Kewajiban pemegang KGI meliputi; kepatuhan penuh terhadap peraturan imigrasi, pelaporan perubahan status, dan kontribusi pajak sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, serta larangan terlibat dalam aktivitas yang mengancam keamanan nasional. Fasilitas dan hak yang diperoleh mencakup izin tinggal tanpa batas waktu, akses bebas masuk-keluar wilayah Indonesia, hak bekerja dan berbisnis tanpa batasan tambahan, serta prioritas layanan konsuler. Selain itu, pemegang KGI berhak atas perlindungan hukum setara dengan penduduk tetap, termasuk akses pendidikan dan kesehatan dasar, meskipun tanpa hak politik penuh seperti memilih. Ketentuan ini dirancang untuk mendorong integrasi positif sambil melindungi kepentingan nasional dengan nilai strategis bagi Indonesia yang mencakup; mendorong investasi diaspora, remitansi, dan konektivitas ekonomi melalui kelancaran alur modal dan pengetahuan, serta memperkuat diplomasi diaspora sebagai “soft power” nasional untuk mempromosikan citra Indonesia di arena global melalui penyederhanaan layanan bagi eks-WNI untuk memudahkan repatriasi dan kontribusi mereka dengan tetap menjaga prinsip single citizenship sesuai amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, sehingga menghindari konflik loyalitas tanpa mengubah status kewarganegaraan asal.
Implementasi kebijakan KGI bukanlah sekadar reformasi administratif, melainkan satu langkah visioner yang akan mendorong peningkatan ekonomi Indonesia secara substansial. Dengan menarik investasi dan talenta global, kebijakan ini diproyeksikan meningkatkan kontribusi FDI hingga 20 persen dalam lima tahun ke depan, sebagaimana dibuktikan oleh model OCI di India. Seperti yang ditegaskan kembali oleh Bapak Menteri Agus Andrianto; “Imigrasi Indonesia akan selalu merespons kebutuhan dan tantangan global. KGI adalah bukti bahwa kebijakan imigrasi kita tidak statis, tetapi terus bertransformasi mengikuti perkembangan zaman.” Dengan demikian, KGI tidak hanya memperkuat posisi Indonesia di panggung internasional, tetapi juga membuka era baru kemakmuran inklusif bagi generasi mendatang.
Penulis adalah Staf Khusus Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Bidang Komunikasi dan Media




