Free Porn
xbporn
Selasa, 8 Juli 2025
spot_img
spot_img
BerandaBeritaGuru Besar FK Seluruh Indonesia Sampaikan Keprihatinan Atas Kebijakan Kesehatan Nasional

Guru Besar FK Seluruh Indonesia Sampaikan Keprihatinan Atas Kebijakan Kesehatan Nasional

Medan – Gelombang keprihatinan muncul dari ratusan guru besar fakultas kedokteran (FK) di seluruh Indonesia terhadap arah kebijakan dan tata kelola kesehatan nasional yang dinilai semakin menjauh dari prinsip-prinsip ilmiah, etika, serta kolaborasi yang selama ini dijunjung tinggi oleh insan medis.

Di Universitas Sumatera Utara (USU), pernyataan sikap dibacakan secara langsung oleh Guru Besar Fakultas Kedokteran USU, Prof. Dr. dr. Guslihan Dasa Tjipta, Sp.A(K), pada sebuah aksi di pendopo FK USU yang turut dihadiri para guru besar, dosen, serta civitas FK USU, Selasa (20/5).

“Kami, para guru besar fakultas kedokteran di Indonesia, menyatakan keprihatinan mendalam terhadap kebijakan kesehatan nasional yang cenderung terburu-buru dan mengabaikan prinsip-prinsip ilmiah serta kualitas pendidikan kedokteran,” tegas Prof. Guslihan.

Menurut Guslihan, para guru besar Fakultas Kedokteran di Indonesia, merupakan bagian integral perjuangan bangsa dalam menjaga kesehatan masyarakat. Negeri ini tidak terlepas dari perjalanan panjang peran dokter dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan rakyat.

“Selama masa pandemi COVID- 1 9, para dokter dari berbagai fakultas kedokteran, rumah sakit, baik negeri maupun swasta, balk di pusat kota maupun pelosok, telah berjuang tanpa mengenal lelah, bahkan beberapa di antaranya harus mengorbankan nyawa. Kami juga aktif terlibat dalam perumusan kebijakan berbasis bukti, memberikan masukan ilmiah kepada pemerintah, mengedukasi masyarakat luas, serta berperan sebagai penghubung antara ilmu pengetahuan dan kebijakan demi keselamatan rakyat dan kemajuan bangsa,” jelasnya.

Namun demikian, kata dia, saat ini mereka menyaksikan dengan penuh keprihatinan arah kebijakan kesehatan nasional yang cenderung menjauh dari semangat kolaboratif yang selama ini menjadi landasan bersama pada masa krisis.

“Kebijakan-kebijakan yang diberlakukan menimbulkan keresahan kolektif di kalangan dokter, yang juga merupakan keresahan kami sebagai pendidik di fakultas kedokteran. Alih-alih memperkuat mutu layanan dan pendidikan, kebijakan yang ada justru berpotensi menurunkan kualitas pendidikan dokter dan dokter spesialis, yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat,” sebutnya.

Keprihatinan ini mereka sampaikan dengan semangat mendukung program Asta Cita yang dicanangkan oleh Presiden dan Wakil Presiden, yakni memperkuat pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan dan kesehatan yang bermutu, adil, dan merata.

“Hal tersebut sulit dicapai jika ekosistem pendidikan kedokteran dan layanan kesehatan nasional tidak dijaga kualitas dan integritasnya,” cetusnya.

Mereka juga mengingatkan bahwa kebijakan kesehatan harus berbasis cara berpikir ilmiah dalam ilmu kedokteran dan kesehatan, berbasis bukti, etika, dan kolaborasi. Reformasi sistem kesehatan semestinya berfokus pada penguatan layanan primer dan kesehatan masyarakat.

“Akses pelayanan kesehatan masih memerlukan perhatian di berbagai pelosok Nusantara, termasuk pulau-pulau terpencil. Namun, yang terjadi saat ini justru pembangunan fasilitas kesehatan rujukan mewah di daerah tanpa tenaga dokter dan SDM yang memadai. Anggaran besar dan pinjaman luar negeri—termasuk dari Bank Dunia—lebih banyak digunakan untuk infrastruktur sekunder/tersier, bukan memperkuat puskesmas dan layanan dasar,” kata dia.

Para guru besar juga menolak kebijakan yang mengabaikan mutu dan prinsip ilmiah, legacy, dan tradisi keilmuan dalam pendidikan tenaga medis. Pendirian jalur pendidikan dokter spesialis di luar universitas tidak dapat dianggap sebagai solusi atas kekurangan tenaga medis, melainkan langkah instan yang berpotensi menurunkan kualitas pendidikan serta menciptakan kesenjangan kompetensi yang mengancam keselamatan pasien dan keberlanjutan ilmu kedokteran pada masa depan,” ungkapnya.

Selain iru, Guslihan juga menyoroti implementasi model Rumah Sakit Pendidikan Pemerintah dan Pemerintah Daerah (sebagai RSPPU) dalam kerangka perundang-undangan dilakukan melalui proses yang minim akuntabilitas dan transparansi, sehingga terkesan tergesa-gesa tanpa kajian yang komprehensif.

“Untuk menjamin mutu pendidikan dokter spesialis, diperlukan seleksi bersama, kurikulum terstruktur, kualitas staf pengajar yang terlatih dalam pendidikan, akreditasi yang transparan, serta pelibatan aktif fakultas kedokteran dalam setiap tahapan penyelenggaraan pendidikan tersebut,” bebernya.

Mereka juga menolak keputusan birokratis yang melemahkan rumah sakit pendidikan, kelembagaan, dan sistem kesehatan akademik. Pemutusan hubungan antara staf pengajar dan rumah sakit pendidikan akan menghancurkan integrasi layanan pendidikan, dan penelitian serta hubungan pemerintah dengan fakultas kedokteran.

“Ini bertentangan dengan praktik terbaik dunia dan berisiko menurunkan mutu layanan spesialistik serta melemahkan pecan Indonesia dalam pengembangan keilmuan kedokteran. Terlebih lagi penentu kebijakan yang otoriter telah mengakibatkan merebaknya kegelisahan yang mencekam di kalangan dokter pendidik klinis, karena bernuansa membungkam suara penyampaian umpan balik yang selayaknya didengarkan,” terangnya.

Tak hanya itu, mereka juga prihatin terhadap narasi publik yang menyudutkan tenaga medis dan institusi pendidikan. Sejumlah pernyataan dari pejabat tinggi negara yang menyalahkan dokter, rumah sakit, dan fakultas kedokteran atas permasalahan dalam sistem kesehatan tidak sepenuhnya tepat, mengingat akar persoalan seperti rendahnya akses, kurangnya pemerataan layanan, dan beban pembiayaan justru berasal dari kegagalan tata kelola sistem dan alokasi anggaran.

“Kekurangan yang kerap disorot oleh pejabat tersebut pada dasarnya bersifat insidental dan personal, yang sejatinya juga dapat terjadi pada profesi lainnya, sehingga tidak dapat digeneralisasi. Sikap menyalahkan semacam ini berpotensi melemahkan kepercayaan publik, menciptakan polarisasi, dan merusak iklim kolaborasi dengan para pemangku kepentingan. Lebih jauh, hilangnya kepercayaan ini mendorong masyarakat untuk mencari layanan kesehatan di luar negeri, sebuah fenomena yang bertentangan dengan Asta Cita pemerintah dalam memperkuat layanan kesehatan nasional,” tandasnya.

Maka dari itu, dengan tegas mereka menolak pengambilalihan Kolegium Dokter Spesialis yang telah selama 50 tahun membina dan mengembangkan berbagai cabang spesialisasi kedokteran. Pembentukan kolegium baru yang dilakukan secara tidak transparan serta tanpa melibatkan perhimpunan dokter spesialis dan institusi pendidikan terkait, mengakibatkan kolegium tersebut kehilangan independensinya.

“Hal ini berpotensi menimbulkan pengaruh politik dan birokrasi yang dapat mengancam kedaulatan ilmu kedokteran. Narasi yang disampaikan oleh Kementerian Kesehatan kepada publik juga tidak mencerminkan penghormatan terhadap prinsip demokrasi yang terbuka dan bebas dalam proses tersebut,” terangnya kembali.

Oleh karena itu, mereka mendesak Presiden Republik Indonesia, DPR RI, dan para pemimpin bangsa untuk menjadikan keselamatan rakyat dan hak atas layanan kesehatan bermutu sebagai tujuan utama, bukan sekadar memenuhi ambisi jangka pendek atau kepentingan non-medis.

“Hentikan kebijakan-kebijakan kesehatan yang terburu-buru, tertutup, dan minim partisipasi publik yang bermakna, khususnya dengan pemangku kepentingan kalangan insan kedokteran, baik para ilmuwan maupun praktisi yang kredibel pengetahuan dan pengalamarmya, serta organisasi profesi. Menjamin seluruh proses pendidikan tenaga medis agar tetap berbasis mutu, disertai tanggung jawab akademik dan perlindungan pasien, melalui lembaga yang telah digunakan selama ini,” sebutnya.

Mereka juga meminta untuk menghentikan intervensi yang melemahkan institusi pendidikan dan rumah sakit pendidikan oleh Kementerian Kesehatan.

“Membangun kembali suasana saling percaya antara pemerintah, institusi pendidikan, dan profesi kesehatan, mengembalikan independensi kolegium dokter spesialis, mendukung tuntutan yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk membatalkan pasal-pasal yang memicu keprihatinan seperti yang disampaikan dalam surat ini,” bebernya.

Selanjutnya, Guslihan juga menyampaikan agar Presiden dapat membangun Kementerian Kesehatan pada kepemimpinan yang memiliki pemahaman mendalam dan wawasan yang luas tentang kedokteran dan kesehatan, yang mampu melakukan tugas kolaborasi dengan berbagai pihak pemangku kepentingan dengan dasar saling menghargai, penuh etika, tidak egosentris dan otoriter serta mengedepankan kebersamaan dalam mencapai tujuan program Asta Cita. (Sal)

spot_img
- Advertisment -spot_img

TERPOPULER

KOMENTAR TERBARU