Jakarta-Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Eddy O.S. Hiariej, menyampaikan bahwa situasi overcrowded yang terjadi di lembaga pemasyarakatan menjadi tantangan yang tidak mudah. Hal ini disebabkan adanya tuntutan menjaga jarak sebagai bagian dari upaya pencegahan penularan.
Namun kondisi overcrowded di lembaga pemasyarakatan terjadi. Maklum, bila akhirnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan kebijakan asimilasi dan integrasi untuk “merumahkan” warga binaan pemasyarakatan atau narapidana.
“Pada awal terjadi Covid-19 kurang lebih ada 30.000 narapidana yang “dirumahkan” melalui proses Asimilasi maupun Pembebasan Bersyarat dan ini adalah kebijakan yang reasonable dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Eddy O.S. Hiariej, dalam diskusi High-Level Panel Discussion: Covid-19, Prison Overcrowding, and Their Impact on Indonesia’s Prison System, yang digelar Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bekerja sama dengan United Nations Office on Drugs and Crime, Kamis (5/8/2021).
Lebih lanjut, pandemi Covid-19 di Indonesia sejak 2020 juga memberikan dampak besar dalam penyelenggaraan pemasyarakatan. Sebab terdapat 268.394 Warga Binaan Pemasyarakatan yang tersebar se-Indonesia. Tak ayal, termasuk di antaranya narapidana, tahanan, dan Anak. Padahal kapasitas yang tersedia hanya bagi 132.107 orang.
Terkait kondisi overcrowding di Lembaga Pemasyarakatan, Eddy menegaskan, bahwa lapas hanya bersifat menerima putusan pengadilan dan tidak dapat melakukan intervensi dalam sistem peradilan pidana. Menurutnya, mengatasi overcrowding tidak cukup dengan membangun lapas.
Namun, lebih merujuk pada perubahan paradigma hukum pidana yang dianut aparat penegak hukum. Terlebih mayoritas penghuni terjerat kasus narkotika.
“Mengapa terjadi overcrowding tidak lepas dari paradigma hukum pidana yang masih dianut yang melihat hukum pidana hanya pada keadilan retributif,” ujar Eddy tegas.
“Padahal sejak 1990 sudah ada perubahan paradigma hukum pidana modern yang tidak hanya berorientasi pada keadilan retributif atau pembalasan. Tetapi keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif,” tambahnya lagi.
Untuk itu, ia juga mendesak untuk disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Narkotika, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan RUU Pemasyarakatan dalam mengatasi overcrowded.
Menurutnya dalam RUU KUHP terdapat pemindaan lain. Seperti denda, pengawasan, percobaan, dan kerja sosial yang lebihi diutamakan.
“Serta dalam RUU Pemasyarakatan lapas tidak lagi sebagai tempat pebuangan akhir. Namun terlibat sejak awal dalam proses adjudikasi,” ungkap Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Eddy O.S. Hiariej. (Juan)