Makassar-Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Selatan (Kanwil Kemenkumham Sulsel) berpartisipasi dalam Sosialisasi Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang Kepatuhan Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Pelaksanaan Hukum. Kegiatan ini digelar secara virtual pada Senin (23/9) di Ruang Rapat Kanwil Sulsel.
Kepala Bidang Hukum, Andi Haris, yang mewakili Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Sulsel, Taufiqurrakhman, hadir bersama Kepala Sub Bidang Penyuluhan Hukum, Bantuan Hukum, dan Jaringan Dokumentasi Informasi Hukum, Merlyanti Anwar, serta para analis hukum dari Kanwil Sulsel.
Dalam acara tersebut, Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Nur Ichwan, menjelaskan bahwa berbagai faktor memengaruhi kondisi hukum saat ini, termasuk substansi hukum positif dan penegakan hukum yang lemah.
“Substansi hukum positif yang ada masih belum harmonis. Pembentukan hukum sering kali didasarkan pada pertimbangan sesaat dan kurang memperhatikan kepentingan masyarakat luas. Penegakan hukum yang lemah turut berperan dalam kondisi ini,” ujar Nur Ichwan dari Aula Moedjono, BPHN, Cililitan, Jakarta Timur.
Ia juga menekankan bahwa supremasi hukum hanya dapat ditegakkan oleh individu yang berkualitas dan berintegritas tinggi, yang harus didukung oleh sistem dan mekanisme yang kuat di setiap lembaga. Inilah yang menjadi dasar bagi BPHN untuk memprakarsai RPerpres Kepatuhan Hukum.
Lebih lanjut, Nur Ichwan menjelaskan bahwa upaya membangun hukum perlu dilakukan secara holistik, mencakup materi hukum, struktur hukum, penegakan hukum, dan budaya hukum, semuanya berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.
“Pembangunan hukum harus terintegrasi dengan pembangunan di bidang lainnya, termasuk pembangunan sumber daya manusia di bidang hukum, khususnya para analis hukum,” tambahnya.
Perancang Peraturan Perundang-Undangan Ahli Madya, R. Septyarto Priandono, mengungkapkan bahwa selama ini tata kelola badan hukum dan badan usaha di Indonesia cenderung hanya diukur dari aspek kesehatan keuangan. Padahal, audit hukum juga dapat diterapkan untuk mengukur kepatuhan hukum.
“Audit kepatuhan hukum dapat dilakukan terhadap badan publik, termasuk penyelenggara negara di tingkat pusat dan daerah, guna mewujudkan pemerintahan yang bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme,” ujar Septyarto.
Ia juga menyoroti bahwa saat ini belum ada peraturan yang mewajibkan badan usaha, badan hukum, dan badan publik melakukan audit hukum secara berkala. RPerpres Kepatuhan Hukum dirancang untuk menjaga integritas kelembagaan, mencegah penyimpangan, dan meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi.
Nantinya, audit hukum akan dilakukan oleh analis hukum yang telah bersertifikat auditor hukum. Selain itu, perancang peraturan perundang-undangan dapat terlibat dalam audit badan publik. Berdasarkan laporan Analis Hukum Ahli Madya BPHN, Apri Listiyanto, saat ini terdapat 1.706 analis hukum yang tersebar di berbagai kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.
Apri juga menambahkan bahwa analis hukum wajib mengembangkan kompetensi secara berkelanjutan. Terdapat enam kompetensi teknis yang wajib dikuasai oleh analis hukum, yaitu: analisis dan evaluasi hukum, pengelolaan informasi hukum, analisis dan evaluasi pengawasan peraturan, pengelolaan pelayanan hukum dan perizinan, pelaksanaan perjanjian antar-instansi, dan kompetensi advokasi hukum.
“Keenam kompetensi ini harus dimiliki oleh setiap analis hukum, meskipun pelaksanaan tugasnya disesuaikan dengan fungsi lembaga tempat mereka bekerja,” tegas Apri.
Acara sosialisasi ini diikuti oleh analis hukum dari seluruh Indonesia melalui aplikasi Zoom dan siaran langsung di YouTube. Diharapkan kegiatan ini dapat memberikan wawasan yang bermanfaat bagi para peserta dalam menjalankan tugas mereka. (Sal)