Free Porn
xbporn
Minggu, 8 Juni 2025
spot_img
spot_img
BerandaBerita15 Maret Hari Internasional Memerangi Islamphobia, MUI dan Kemenag Diharapkan Sosialisasi ke...

15 Maret Hari Internasional Memerangi Islamphobia, MUI dan Kemenag Diharapkan Sosialisasi ke Masyarakat Indonesia

Jakarta-Persatuan Bangsa-Bangsa telah menetapkan tanggal 15 Maret sebagai ‘Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia’. Keputusan ini diterbitkan dalam Sidang Umum PBB yang berlangsung pada Selasa, 15 Maret 2022.

Menanggapi hal ini, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, Kemenag menyambut baik dan mendukung ketetapan PBB, tanggal 15 Maret sebagai ‘Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia’.

“Segala bentuk Islamofobia memang harus diperangi,” tegas Menag di Jakarta, dilansir dari laman Kemenag.go.id, Jumat (18/3/2022).

Istilah Islamofobia sering dipahami sebagai gelombang prasangka, diskriminasi, ketakutan, dan kebencian terhadap Islam dan muslim. Menurut Menag, semua bentuk prasangka dan ketakutan yang dialamatkan kepada agama, harus diperangi. Sebab, itu adalah salah satu faktor yang mengancam kerukunan dan harmoni antarumat beragama.

“Segala bentuk gelombang ketakutan terhadap agama, harus diperangi,” jelas Menag.

Menag berharap, keputusan PBB ini bisa menjadi momentum bagi umat Islam, untuk berada di garda terdepan dalam mengatasi berbagai permasalahan dunia. Umat Islam harus dapat menunjukkan tingkah laku yang sesuai dengan prinsip Islam yang cinta damai. Demikian juga umat agama lainnya, untuk menunjukkan sikap sesuai ajaran agamanya masing-masing yang tentu juga mengedepankan persaudaraan dan kedamaian.

“Penting bagi umat seluruh agama untuk memastikan bahwa kerukunan, perdamaian, dan harmoni adalah ajaran universal agama. Sudah semestinya semua bergerak bersama dalam menciptakan persaudaraan kemanusiaan, bukan perpecahan dan permusuhan,” jelas Menag.

“Tidak ada ajaran agama manapun yang membenarkan tindakan kekerasan, apa pun motifnya. Memuliakan nilai kemanusiaan adalah esensi ajaran semua agama,” sambungnya.

Ikhtiar mewujudkan perdamaian dunia, lanjut Menag, harus terus diupayakan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, pihaknya kini tengah terus berupaya menjalin komunikasi dengan dua tokoh agama dunia, Grand Syekh Al-Azhar Ahmed Al-Tayeb dan Pemimpin Gereja Vatikan Paus Fransiskus.

Menag mengapresiasi inisiatif keduanya dalam mempromosikan nilai-nilai koeksistensi, toleransi, dan perdamaian yang dirinci dalam Dokumen Persaudaraan Manusia. Dokumen ini ditandatangani bersama oleh Imam Besar Ahmed Al-Tayeb dan Paus Fransiskus di Abu Dhabi pada Februari 2019.

“Kami masih mengupayakan kedua tokoh agama dunia itu bisa hadir di Indonesia untuk melihat kerukunan, harmoni, dan persaudaraan bangsa Indonesia yang sangat beragam ini,” jelasnya.

“Kami masih mencoba menjalin komunikasi, baik dengan Majelis Hukama Al-Muslimin di Abu Dhabi yang dipimpin oleh Grand Syekh Ahmed Al-Tayeb. Juga dengan pihak Al-Azhar karena beliau saat ini adalah Grand Syekh Al-Azhar. Komunikasi juga terus coba dijalin dengan pihak Gereja Vatikan,” tandasnya.

Sosialisasi

Sementara itu, Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional (HLN) MUI, Bunyan Saptomo, juga menyambut baik kesepakatan yang diambil oleh PBB dalam menangani masalah diskriminasi agama yang sering kali terjadi di berbagai belahan dunia.

“PBB berarti mengakui adanya fakta telah terjadi peningkatan diskriminasi, intoleran dan kekerasan kepada berbagai kelompok agama, termasuk kelompok Muslim,” katanya, ketika dihubungi pada Sabtu (19/3/2022), dilansir dari laman mui.or.id.

Bunyan juga menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada Menteri Agama (Menag) RI yang telah menyatakan dukungannya pada kesepakatan PBB ini. Ia berharap, MUI dan Menag bisa bekerja sama untuk mensosialisasikan kesepakatan itu di Indonesia.

“Hal ini sesuai dengan seruan MU-PBB agar semua pihak mengadakan dan mendukung kegiatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya mengatasi (curbing) Islamophobia,” terangnya.

Lebih lanjut, Bunyan mengatakan Islamophobia bisa muncul dalam berbagai bentuk. Di negara yang Muslimnya minoritas, Islamophobia bisa berbentuk hinaan, ancaman, intoleran, atau diskriminasi. Di negara yang Muslimnya mayoritas, Islamophobia umumnya berbentuk fitnah.

Dia memastikan kesepakatan PBB ini bisa disosialisasikan sebaik mungkin kepada seluruh ormas. Indonesia, kata dia, juga berpotensi terjangkit Islamophobia jika keberagaman dalam beragama tidak bisa dibina di tengah kehidupan umat.

“Di abad 21 ini Islamophobia semakin meningkat. Perlu pendekatan yang komprehensif dalam menyikapi Islamophobia, dan itu menjadi tugas kita bersama,” tandasnya. (Sal)

spot_img
- Advertisment -spot_img

TERPOPULER

KOMENTAR TERBARU